MAKALAH ETIKA PROFESI HUKUM KESEHATAN
Malpraktik Medik
Disusun oleh : Oditio
Barkah Fendyana
P1337430116020
1A
DIII TRR SMG
BAB I
PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang Masalah
Akhir – akhir ini tuntutan hukum terhadap
dokter dengan dakwaan melakukan malpraktik makin meningkat dimana – mana,
termasuk di negara kita. Maraknya pengaduan tersebut selain disebabkan oleh
meningkatkanya kesadaran hukum dan kesadaran akan hak – hak pasien, adalah
karena masyarakat menggangap kegagalan upaya penyembuhan yang dilakukan dokter
terhadap pasien identik dengan kegagalan tindakan medik. Padahal dokter tidak
bisa disalahkan jika ia telah melaksakan tugas profesinya sesuai dengan standar
pelayanan medik, sesuai dengan standar prosedur yang telah disepakati oleh
organisasi profesinya dan Rumah Sakit tempat ia bekerja.
Seorang
dokter tidak menjamin hasil akhir upayanya yang sungguh – sungguh untuk
kesembuhan pasien atau meringankan penderitaan pasienya. Jadi, jika terjadi
komplikasi tidak terduga, cedera, bahkan pasienya meninggal dunia, dokter tidak
dapat dituntut. Harapan psien dalam menerima pelayanan medik adalah kesembuhan
dan sekecil mungkin adanya resiko atau efek samping. Namun, dokter adalah
manusia biasanya yang tidak luput dari human
error, apalagi bekerja dalam kondisi sarana pelayanan medik yang tidak
memadai, peralatan yang kurang, faktor lingkungan dan sebagainya. Di sisi lain
para dokter dituntut untuk melaksanakan kewajiban dan tugas profesinya dengan
lebih hati – hati dan penuh tanggung jawab. Seorang dokter hendaknya dapat
menegakkan diagnosis dengan benar sesuai dengan prosedur, memberikan terapi dan
melakukan tindakan medik sesuai standar
pelayanan medik, dan tindakan itu memang wajar dan diperlukan.
Mengingat semakin maraknya
kemunculan kasus-kasus malpraktek yang terjadi akhir-akhir ini bersamaan dengan
semakin meningkatnya kemajuan dalam pelayanan medis, maka kasus malpraktek
ini harus dikaji sebagai sebuah kasus kriminalitas yang terjadi akibat
suatu kelalayan dan propesionalitas tenaga kedokteran. Di negara maju tiga
besar, dokter spesialis menjadi sasaran utama tuntutan kediklayakan dalam
praktik, yaitu spesialis bedah ( ortopedi, plastik dan saraf ) spesialis
anestesi, dan spesialis kebidanan dan penyakit kandungan.
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar
belakang diatas dapat dilihat masih adanya pelayanan kesehatan oleh tenaga
medis yang kurang memuaskan pada pasien. Maka permasalahan yang akan dibahas
dalam makalah ini adalah tentang permasalahan malpraktek tenaga medis dan upaya
pencegahannya.
1.3 Tujuan Penulisan
1. Menjelaskan pengertian malpraktik
2. Menjelaskan tentang tanggung jawab hukum
3. Memahami upaya pencegahan malpraktik dan
mengetaui cara menghadapi tuntutan hukum
4. Menjelaskan cara – cara pembuktian malpraktik
5. Mampu menelaah sebuah kasus malpraktik
1.4 Manfaat Penulisan
1. Menambah wawan ilmu pengetahuan dalam bidang
kesehatan terutama yang berkaitan dengan malpraktik tenaga medis
2. Memahami permasalahan yang berkaitan dengan
makpraktik tenaga medis sertra upaya – upaya untuk mencegahnya
3. Memahi tuntutan hukum terhadap malpraktik
tenaga medis.
BAB II
DASAR TEORI
2.1 Pengertian Malpraktik
Malpraktek ( malapraktek ) atau
malpraktik terdiri dari suku kata mal dan praktik atau praktek. mal berasal
dari bahasa Yunani, yang berarti buruk. Praktik ( Kamus Umum Bahasa Indonesia,
Purwadarminta, 1976 ) atau praktik ( Kamus Dewan Bahasa dan Pustaka Kementerian
Pendidikan Malaysia, 1991 ) berarti menjalankan perbuatan yang tersebut dalam
teori atau menjalankan pekerjaan ( profesi ). Jadi malpraktik berarti
menjalankan pekerjaan yang buruk kualitasnya, tidak tepat. Malpraktik tidak
hanya terdapat dalam bidang kedokteran, tetapu juga dalam profesi lain seperti
perbankan, pengacara, akuntan publik dan wartawan.
Malpraktik medik dapat diartikan sebagai
kelalaian atau kegagalan seorang dokter untuk mempergunakan tingkat ketrampilan
dan ilmu pengetahuan yang lazim dipergunakan dalam mengobati pasien atau orang cedera menrut ukuran
dilingkungan yang sama.
Apapun desinisi malpraktik medik pada
intinya mengandung salah satu unsur berikut :
1. Dokter kurang menguasai ilmu pengetahuan
kedokteran dan keterampilan yang sudah berlaku umum dikalangan profesi
kedokteran.
2. Dokter memberikan pelayanan medik di bawah
standar
3. Dokter melakukan kelalaian berat atau kurang
hati – hati, yang dapat mencakup,
a. Tidak melakukan sesuatu tindakan yang
seharusnya dilakukan, atau
b. Melakukan sesuatu tindakan yang seharusnya
tidak dilakukan.
4. Melakukan tindakan medik yang bertentangan
dengan hukum.
Dalam praktiknya benyak sekali hal yang
dapat diajukan sebagai malpraktik, seperti salah diagnosis atau terlambat diagnosis karena kurang
lengkapnya pemeriksaan, pemberian terapi yang sudah ketinggalan zaman,
kesalahan teknis waktu melakukan pembedahan, salah dosis obat, salah metode tes
atau pengobatan, perawatan yang tidak tepat, kelalaian dalam pemantauan pasien,
kegagalan komukasi dan kegagalan peralatan.
Malpraktik medik adalah kelalaian
seorang dokter untuk mempergunakan tingkat keterampilan dan ilmu pengetahuan
yang lazim dipergunakan dalam mengobati pasien atau orang yang terluka menurut
ukuran di lingkungan yang sama. Yang dimaksud dengan kelalaian disini ialah
sikap kurang hati – hati, yaitu tidak melakukan apa yang seseorang dengan sikap
hati – hati melakukanya dengan wajar, atau sebaliknya delam situasi tersebut.
Kelalaian diartikan pula dengan melakukan tindakan kedokteran di bawah standar
pelayanan medik.
2.2 Malpraktik di Bidang Hukum
Untuk malpraktek
hukum atau yuridical malpractice dibagi dalam 3 kategori sesuai bidang hukum yang
dilanggar, yakni Criminal malpractice,Civil malpractice dan Administrative
malpractice.
1. Criminal malpractice
Perbuatan seseorang dapat dimasukkan dalam kategori criminal malpractice
manakala perbuatan tersebut memenuhi rumusan delik pidana yakni :
a. Perbuatan tersebut (positive act maupun
negative act) merupakan perbuatan tercela.
b. Dilakukan
dengan sikap batin yang salah (mens rea) yang berupa kesengajaan (intensional),
kecerobohan (reklessness) atau kealpaan (negligence).
Criminal
malpractice yang bersifat sengaja (intensional):
Pasal 267 KUHP, tentang Dokter yang
sengaja memberi surat keterangan palsu tentang adanya atau tidak adanya
penyakit, kelemahan atau cacat, dihukum dengan hukuman penjara selama 4 tahun.
Pasal 346 sampai dengan pasal 349 KUHP,
tentang Abortus Provokatus. Pasal 346 KUHP Mengatakan: Seorang wanita yang
sengaja menggugurkan atau mematikan kandungannya atau menyuruh orang lain untuk
itu, diancam dengan pidana penjara paling lama empat tahun.
Pasal 348 KUHP menyatakan: Ayat (1) Barangsiapa dengan sengaja menggugurkan
atau mematikan kandungan seorang wanita dengan persetujuannya, diancam dengan
pidana penjara paling lama lima tahun enam bulan. Ayat (2) Jika perbuatan itu
mengakibatkan matinya wanita tersebut, dikenakan pidana penjara paling lama
tujuh tahun.
Pasal 349 KUHP menyatakan: Jika seorang dokter, bidan atau juru obat
membantu melakukan kejahatan yang tersebut pasal 346, ataupun melakukan atau
membantu melakukan salah satu kejahatan yang diterangkan dalam pasal 347 dan 348,
maka pidana yang ditentukan dalam pasal itu dapat ditambah dengan sepertiga dan
dapat dicabut hak untuk menjalankan pencaharian dalam mana kejahatan dilakukan.
Pasal 351 KUHP, tentang penganiayaan, yang berbunyi:
Ayat (1) Penganiayaan diancam dengan pidana penjara paling lama dua tahun
delapan bulan atau denda paling banyak tiga ratus rupiah.
Ayat (2) Jika perbuatan mengakibatkan luka-luka berat, yang bersalah
dikenakan pidana penjara paling lama lima tahun.
Ayat (3) Jika mengakibatkan mati, dikenakan pidana penjara paling lama
tujuh tahun.
Ayat (4) Dengan penganiayaan disamakan sengaja merusak kesehatan.
Ayat (5)
Percobaan untuk melakukan kejahatan ini tidak dipidana.
Criminal
malpractice yang bersifat ceroboh (recklessness) misalnya melakukan tindakan
medis tanpa persetujuan pasien informed consent.
a. Pasal 349 KUHP menyatakan: Jika seorang dokter, bidan
atau juru obat membantu melakukan kejahatan yang tersebut pasal 346, ataupun
melakukan atau membantu melakukan salah satu kejahatan yang diterangkan dalam
pasal 347 dan 348, maka pidana yang ditentukan dalam pasal itu dapat ditambah
dengan sepertiga dan dapat dicabut hak untuk menjalankan pencaharian dalam mana
kejahatan dilakukan.
Criminal
malpractice yang bersifat negligence (lalai) misalnya kurang hati-hati
melakukan proses kelahiran.
a. Pasal-pasal
359 sampai dengan 361 KUHP, pasal-pasal karena lalai menyebabkan mati atau
luka-luka berat.
Pasal 359
KUHP, karena kelalaian menyebabkan orang mati : Barangsiapa karena kealpaannya menyebabkan
matinya orang lain, diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun atau
kurungan paling lamasatu tahun.
b. Pasal 360
KUHP, karena kelalaian menyebakan luka berat: Ayat (1) Barangsiapa karena
kealpaannya menyebakan orang lain mendapat luka-luka berat, diancam dengan
pidana penjara paling lama lima tahun atau kurungan paling lamasatu
tahun. Ayat (2) Barangsiapa karena kealpaannya menyebabkan orang lain
luka-luka sedemikian rupa sehinga menimbulkan penyakit atau alangan menjalankan
pekerjaan, jabatan atau pencaharian selama waktu tertentu, diancam dengan
pidana penjara paling lama sembilan bulan atau denda paling tinggi tiga ratus
rupiah.
c. Pasal 361
KUHP, karena kelalaian dalam melakukan jabatan atau pekerjaan (misalnya:
dokter, bidan, apoteker, sopir, masinis dan Iain-lain) apabila melalaikan
peraturan-peraturan pekerjaannya hingga mengakibatkan mati atau luka berat,
maka mendapat hukuman yang lebih berat pula. Pasal 361 KUHP menyatakan: Jika
kejahatan yang diterangkan dalam bab ini dilakukan dalam menjalankan suatu
jabatan atau pen¬caharian, maka pidana ditambah dengan pertiga, dan yang
bersalah dapat dicabut haknya untuk menjalankan pencaharian dalam mana
dilakukan kejahatan dan hakim dapat memerintahkan supaya putusnya diumumkan.
Pertanggung jawaban didepan hukum pada criminal malpractice adalah bersifat
individual/personal dan oleh sebab itu tidak dapat dialihkan kepada orang lain
atau kepada rumah sakit/sarana kesehatan.
2.3 Tanggung Jawab Hukum
Seperti dikemukakan di depan bahwa tidak setiap upaya kesehatan selalu
dapat memberikan kepuasan kepada pasien baik berupa kecacatan atau bahkan
kematian. Malapetaka seperti ini tidak mungkin dapat dihindari sama sekali.
Yang perlu dikaji apakah malapetaka tersebut merupakan akibat kesalahan bidan
atau merupakan resiko tindakan, untuk selanjutnya siapa yang harus bertanggung
gugat apabila kerugian tersebut merupakan akibat kelalaian bidan. Di dalam
transaksi teraputik ada beberapa macam tanggung gugat, antara lain:
1. Contractual
liability
Tanggung gugat ini timbul sebagai akibat tidak
dipenuhinya kewajiban dari hubungan kontraktual yang sudah disepakati. Di
lapangan kewajiban yang harus dilaksanakan adalah daya upaya maksimal, bukan
keberhasilan, karena health care provider baik tenaga kesehatan maupun rumah
sakit hanya bertanggung jawab atas pelayanan kesehatan yang tidak sesuai
standar profesi/standar pelayanan.
2. Vicarius
liability
Vicarius liability atau respondeat superior ialah
tanggung gugat yang timbul atas kesalahan yang dibuat oleh tenaga kesehatan
yang ada dalam tanggung jawabnya (sub ordinate), misalnya rumah sakit akan
bertanggung gugat atas kerugian pasien yang diakibatkan kelalaian bidan sebagai
karyawannya.
3. Liability in tort Liability in tort
adalah tanggung gugat atas perbuatan melawan hukum (onrechtmatige daad).
Perbuatan melawan hukum tidak terbatas hanya perbuatan yang melawan hukum,
kewajiban hukum baik terhadap diri sendiri maupun terhadap orang lain, akan
tetapi termasuk juga yang berlawanan dengan kesusilaan atau berlawanan dengan
ketelitian yang patut dilakukan dalam pergaulan hidup terhadap orang lain atau
benda orang lain (Hogeraad 31 Januari 1919).
2.4 Pembuktiian Malpraktik di Bidang Kesehatan
Dari definisi malpraktek adalah “kelalaian dari
seseorang dokter atau tenaga keperawatan (perawat dan bidan) untuk
mempergunakan tingkat kepandaian dan ilmu pengetahuan dalam mengobati dan
merawat pasien, yang lazim dipergunakan terhadap pasien atau orang yang terluka
menurut ukuran dilingkungan yang sama” (Valentin v. La Society de Bienfaisance
Mutuelle de Los Angelos, California, 1956).
Dari definisi tersebut
malpraktek harus dibuktikan bahwa apakah benar telah terjadi kelalaian bidan
dalam menerapkan ilmu pengetahuan dan keterampilan yang ukurannya adalah lazim
dipergunakan diwilayah tersebut. Andaikata akibat yang tidak diinginkan
tersebut terjadi apakah bukan merupakan resiko yang melekat terhadap suatu
tindakan medis tersebut (risk of treatment) karena perikatan dalam transaksi
teraputik antara bidan dengan pasien adalah perikatan/perjanjian jenis daya
upaya (inspaning verbintenis) dan bukan perjanjian/perjanjian akan hasil
(resultaat verbintenis).
Apabila bidan didakwa
telah melakukan kesalahan profesi, hal ini bukanlah merupakan hal yang mudah
bagi siapa saja yang tidak memahami profesi kesehatan dalam membuktikan ada dan
tidaknya kesalahan. Dalam hal bidan didakwa telah melakukan ciminal
malpractice, harus dibuktikan apakah perbuatan bidan tersebut telah
memenuhi unsur tidak pidanya yakni :
a. Apakah
perbuatan (positif act atau negatif act) merupakan perbuatan yang tercela
b. Apakah
perbuatan tersebut dilakukan dengan sikap batin (mens rea) yang salah (sengaja,
ceroboh atau adanya kealpaan). Selanjutnya apabila bidan dituduh telah melakukan
kealpaan sehingga mengakibatkan pasien meninggal dunia, menderita luka, maka
yang harus dibuktikan adalah adanya unsur perbuatan tercela (salah) yang
dilakukan dengan sikap batin berupa alpa atau kurang hati-hati ataupun kurang
praduga. Dalam kasus atau gugatan adanya civil malpractice pembuktianya
dapat dilakukan dengan dua cara yakni :
Cara langsung
Oleh Taylor membuktikan adanya kelalaian memakai tolok ukur adanya 4 D yakni :
a. Duty
(kewajiban) Dalam hubungan perjanjian bidan dengan pasien, bidan haruslah
bertindak berdasarkan: 1) Adanya indikasi medis, 2) Bertindak secara hati-hati
dan teliti, 3) Bekerja sesuai standar profesi, 4) Sudah ada informed consent.
b. Dereliction of
Duty (penyimpangan dari kewajiban) Jika seorang bidan melakukan pekerjaan
menyimpang dari apa yang seharusnya atau tidak melakukan apa yang seharusnya
dilakukan menurut standard profesinya, maka bidan tersebut dapat dipersalahkan.
c. Direct
Causation (penyebab langsung)
d. Damage
(kerugian) Bidan untuk dapat dipersalahkan haruslah ada hubungan kausal
(langsung) antara penyebab (causal) dan kerugian (damage)yang diderita oleh
karenanya dan tidak ada peristiwa atau tindakan sela diantaranya, dan hal ini
haruslah dibuktikan dengan jelas. Hasil (outcome) negatif tidak dapat sebagai
dasar menyalahkan bidan. Sebagai adagium dalam ilmu pengetahuan hukum, maka
pembuktiannya adanya kesalahan dibebankan/harus diberikan oleh si penggugat
(pasien).
Cara tidak
langsung Cara tidak langsung merupakan cara pembuktian yang mudah bagi pasien,
yakni dengan mengajukan fakta-fakta yang diderita olehnya sebagai hasil layanan
(doktrin res ipsa loquitur). Doktrin res ipsa loquitur dapat diterapkan apabila
fakta-fakta yang ada memenuhi kriteria:
a. Fakta tidak mungkin
ada/terjadi apabila bidan tidak lalai
b. Fakta itu
terjadi memang berada dalam tanggung jawab bidan
Fakta itu terjadi
tanpa ada kontribusi dari pasien dengan perkataan lain tidak ada contributory
negligence. Misalnya ada kasus saat bidan akan memotong tali pusat bayi, saat
memotong tali pusat ikut terluka perut pasien tersebut. Dalam hal ini perut
yang luka dapat dijadikan fakta yang secara tidak langsung dapat membuktikan
kesalahan bidan, karena:
a. Perut bayi
tidak akan terluka apabila tidak ada kelalaian tenaga perawatan.
b. Memotong tali
pusat bayi adalah merupakan/berada pada tanggung jawab bidan.
c. Pasien/bayi
tidak mungkin dapat memberi andil akan kejadian tersebut.
2.5 Upaya Pencegahan Malpraktik
Pelayanan medik merupakan suatu sistem
pelayanan yang kompleks dan ketat sehingga mudah terjadi kecelakaan terutama di
UGD, ICU, Kamar Bedah dan Kamar Bersalin. Oleh karena itu, pelayanan di sini
harus ektra hati – hati. Setiap tindakan medik mengandung resiko karena itu harus
dilakukan tindakan pencegahan dan berupaya mengurangi resikonya hingga tingkat
yang dapat diterima (acceptable). Berikut ini beberapa tips agar terhindar dari
tuntutan malpraktik :
1. Senantiasa berpedoman pada standar pelayanan
medik dan standar prosedur operasional
2. Bekerjalah secara profesional, berlandaskan
etik dan moral yang tinggi.
3. Ikuti peraturan perundangan yang berlaku,
terutama tentang kesehatan dan praktik dokter
4.
Jalin
komunikasi yang harmonis dengan pasien dan keluarganya dan jangan pelit informasi
baik tentang diagnosis, oencegahan dan terapi. Ada yang mengatakan bahwa “a good physician – patient relationship is
the best prophylatic against a malpractice suit”
5. Tingkatkan rasa kebersamaan, keakraban dan
kekeluargaan sesama sejawat dan tingkatkan kerja sama tim medik demi
kepentingan pasien.
6. Jangan berhenti belajar, selalu tingkatkan
ilmu dan keterampilan dalam bidang ditekuni.
Upaya menghadapi tuntutan hukum Apabila
upaya kesehatan yang dilakukan kepada pasien tidak memuaskan sehingga bidan menghadapi
tuntutan hukum, maka bidan seharusnyalah bersifat pasif dan pasien atau
keluarganyalah yang aktif membuktikan kelalaian bidan. Apabila tuduhan kepada
bidan merupakan criminal malpractice, maka bidan dapat melakukan :
a. Informal defence, dengan mengajukan
bukti untuk menangkis/menyangkal bahwa tuduhan yang diajukan tidak berdasar
atau tidak menunjuk pada doktrin-doktrin yang ada, misalnya bidan mengajukan
bukti bahwa yang terjadi bukan disengaja, akan tetapi merupakan risiko medik
(risk of treatment), atau mengajukan alasan bahwa dirinya tidak mempunyai sikap
batin (men rea) sebagaimana disyaratkan dalam perumusan delik yang dituduhkan.
b. Formal/legal defence, yakni
melakukan pembelaan dengan mengajukan atau menunjuk pada doktrin-doktrin hukum,
yakni dengan menyangkal tuntutan dengan cara menolak unsur-unsur pertanggung
jawaban atau melakukan pembelaan untuk membebaskan diri dari pertanggung
jawaban, dengan mengajukan bukti bahwa yang dilakukan adalah pengaruh daya
paksa.
c. Berbicara mengenai pembelaan,
ada baiknya bidan menggunakan jasa penasehat hukum, sehingga yang sifatnya
teknis pembelaan diserahkan kepadanya. Pada perkara perdata dalam tuduhan
civil malpractice dimana bidan digugat membayar ganti rugi sejumlah uang, yang
dilakukan adalah mementahkan dalil-dalil penggugat, karena dalam peradilan
perdata, pihak yang mendalilkan harus membuktikan di pengadilan, dengan
perkataan lain pasien atau pengacaranya harus membuktikan dalil sebagai dasar
gugatan bahwa tergugat (bidan) bertanggung jawab atas derita (damage) yang
dialami penggugat.
d. Untuk membuktikan adanya
civil malpractice tidaklah mudah, utamanya tidak diketemukannya fakta yang
dapat berbicara sendiri (res ipsa loquitur), apalagi untuk membuktikan adanya
tindakan menterlantarkan kewajiban (dereliction of duty) dan adanya hubungan
langsung antara menterlantarkan kewajiban dengan adanya rusaknya kesehatan
(damage), sedangkan yang harus membuktikan adalah orang-orang awam dibidang
kesehatan dan hal inilah yang menguntungkan bidan.
BAB III
PEMBAHASAN
3.1
Contoh Kasus
Diduga Jadi Korban Malpraktik, Ibu Melahirkan Ditahan
RSIA Kenari Graha Medika ( publikbogor.com ) 6 Maret 2017
Mayasari (26)
warga Kampungtengah, RT 01/06, Desa Cileungsikidul, Kecamatan Cileungsi, harus
terbaring lemas di ruang rawat inap setelah menjalani operasi sesar. Diduga,
telah terjadi malpraktik dalam operasi sesar yang dijalaninya itu, karena dalam
operasi tersebut kantung kemihnya tersayat oleh tim dokter.
Suami korban
Rotamas Awaludin (32) mengisahkan, pada hari Jumat (3/3) kemarin, saat
istrinya hendak melahirkan, istrinya tersebut dirujuk oleh bidan Lia tempat
biasa istrinya mengecek kandungan untuk menjalani operasi sesar di Rumah Sakit
Ibu dan Anak (RSIA) Kenari Graha Medika. Pukul 09:00 WIB, ia membawa istrinya
ke rumah sakit tersebut, dan baru menjalani operasi sesar pukul 13:00 WIB.
“Jam 18:00
WIB operasinya baru selesai, dan pukul 15:00 WIB saya sudah diberikabar kalau
bayinya sudah lahir,” kisahnya kepad Publik Bogor, (6/3).
Rotamas
menjelaskan, saat sedang menjalani operasi suster sempat menyampaikan bahwa
istrinya tersebut mengalami pendarahan, dan perlu tranfusi darah. Tak lama
setelah itu, salah satu tim dokter, yakni dokter Firdaus memanggilnya, dan
mengatakan bahwa kantung kemih istrinya tersayat. Dokter tersebut pun tak bisa
menangani hal tersebut.
“Setelah itu,
istri saya ditangani dokter Joko sebagai dokter bedah, untuk menjalani operasi
kantung kemih,” jelasnya.
Ia
menerangkan, dari hari Jumat sampai Sabtu kemarin dirinya harus membayar
sebesar Rp14.712.804, dan baru dibayar sebesar Rp9 juta. Dirinya tak
menggunakan BPJS untuk biaya melahirkan istrinya tersebut, melainkan
menggunakan biaya paket sesar dari bidan Lia sebesar Rp6,5 juta.
“Saya
menganggur sudah dua bulan, dan biaya ini menggunakan uang tabungan saya,”
terangnya.
Ia
menegaskan, pihaknya berencana melaporkan hal ini pada pihak berwajib jika
tidak ada itikad baik dari pihak RSIA Kenari Graha Medika. Karena, biaya
operasi kantung kemih pun dibebankan padanya, padahal hal itu merupakan
kesalahan dari tim dokter.
“Ini kan
kesalahan dari pihak dokter, masa harus saya yang menanggung biayanya. Harusnya
rumah sakit yang menanggung,” keluhnya.
Menurut pria
berbadan kurus ini, dirinya pun sangat susah untuk bertemu dengan dokter
Firdaus. Bahkan, bidan Lia yang merekomendasikan untuk operasi sesar pun tak
mau menemani untuk menemui dokter Firdaus.
Korban
malpraktik Mayasari mengungkapkan, saat ini dirinya menggunkan selang yang
dimasukan kedalam perutnya untuk buang air kecil. Dan menurut dokter selangnya
baru bisa dicopot setelah tiga minggu.
“Saat ini
kepala saya terasa berat, pusing,” ungkapnya.
Sementara
itu, saat Publik Bogor ingin mengkonfirmasi malpraktik itu, satpam RSIA Kenari
Graha Medika Rizki berkilah, direktur maupun humasnya sedang tidak ada.
“Mereka
sedang diluar, kalau mau konfirmasi harus kirim surat dulu untuk membuat
janji,” singkatnya.
3.2
Analisis Kasus
Masalah dugaan
malpraktik medik, akhir-akhir ini, sering diberitakan di media masa. Dugaan
kasus malpraktek yang terbaru adalah kasus malpraktek korban mayasari yang
kantung kemihnya tersayat ketika di oprasi sesar. Namun, sampai kini, pihak
rumah sakit masih bungkam soal hal tersebut.
Secara
mendasar masalah ini adalah murni kelalaian
tim dokter bedah pada saat melakukan oprasi sesar. Hal yang seharusya
tidak terjadi jika tim dokter bertindak sesuai prosedur yang sudah ditetapkan,
namun pada dasarnya dokter juga bisa lalai atau tidak teliti dalam melakukan
suatu tindakan. Biaya oprasi kantung kemih juga di tanggung oleh pihak korban
dan itu sangat memberatkan pihak korban, karena pihak korban harus membayar
biaya oprasi sesar dan oprasi kantung kemih. Pihak korban masih kesusahan untuk
membawa kasus ini ke lingkup hukum karena tim dokter ataupun bidan belum bisa
ditemui dan susah untuk bertemu.
Salah satu
upaya untuk menghindarkan dari malpraktek adalah adanya informed consent
(persetujuan) untuk setiap tindakan dan pelayanan medis pada pasien. Hal ini
sangat perlu tidak hanya ntuk melindungi dari kesewenangan tenaga kesehatan
seperti doter atau bidan, tetapi juga diperlukan untuk melindungi tenaga
kesehatan dari kesewenangan pasien yang melanggar batas-batas hukum dan
perundang-undangan malpraktek. Kasus Mauren mauren memang harus dianalisi oleh
pihak-pihak terkait untuk menentukan dugaan-dugaan yang muncul dan penyelesaian
yang diajukan untuk mengatasi kasus ini.
3.3
Malpraktik ditinjau dari segi hukum
1. Sangsi hukum
Jika perbuatan malpraktik yang dilakukan dokter
terbukti dilakukan dengan unsur kesengajaan (dolus) dan ataupun kelalaian
(culpa) seperti dalam kasus malpraktek dalam bidang oprasi bedah, maka adalah
hal yang sangat pantas jika dokter yang bersangkutan dikenakan sanksi pidana
karena dengan unsur kesengajaan ataupun kelalaian telah melakukan perbuatan
melawan hukum. Perbuatan tersebut telah nyata-nyata mencoreng kehormatan dokter
sebagai suatu profesi yang mulia.
Pekerjaan profesi bagi setiap kalangan terutama dokter
tampaknya harus sangat berhati-hati untuk mengambil tindakan dan keputusan
dalam menjalankan tugas-tugasnya karena sebagaimana yang telah diuraikan di
atas. Tuduhan malpraktik bukan hanya ditujukan terhadap tindakan kesengajaan
(dolus) saja.Tetapi juga akibat kelalaian (culpa) dalam menggunakan keahlian,
sehingga mengakibatkan kerugian, mencelakakan, atau bahkan hilangnya nyawa
orang lain. Selanjutnya, jika kelalaian dokter tersebut terbukti merupakan
tindakan medik yang tidak memenuhi SOP yang lazim dipakai, melanggar
Undang-undang No. 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan, maka dokter tersebut dapat
terjerat tuduhan malpraktik dengan sanksi pidana.
Dalam Kitab-Undang-undang Hukum Pidana (KUHP)
kelalaian yang mengakibatkan celaka atau bahkan hilangnya nyawa orang lain. Kelalaian
yang mengakibatkan terancamnya keselamatan jiwa seseorang dapat diancam dengan
sanksi pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 360 Kitab-Undang-Undang Hukum
Pidana (KUHP), (1) ‘Barang siapa karena kealpaannya menyebabkan orang lain
mendapat luka-luka berat, diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun
atau kurungan paling lama satu tahun’. (2) Barangsiapa karena kealpaannya
menyebabkan orang lain luka-luka sedemikian rupa sehingga timbul penyakit atau
halangan menjalankan pekerjaan jabatan atau pencaharian selama waktu tertentu,
diancam dengan pidana penjara paling lama sembilan bulan atau kurungan paling
lama enam bulan atau denda paling tinggi tiga ratus rupiah.
Pemberatan sanksi pidana juga dapat diberikan terhadap
dokter yang terbukti melakukan malpraktik, sebagaimana Pasal 361
Kitab-Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), “Jika kejahatan yang diterangkan dalam
bab ini dilakukan dalam menjalankan suatu jabatan atau pencarian, maka pidana
ditambah dengan sepertiga dan yang bersalah dapat dicabut hak untuk menjalankan
pencarian dalam mana dilakukan kejahatan dan hakim dapat memerintahkan supaya
putusannya diumumkan.” Namun, apabila kelalaian dokter tersebut terbukti
merupakan malpraktik yang mengakibatkan terancamnya keselamatan jiwa dan atau
hilangnya nyawa orang lain maka pencabutan hak menjalankan pencaharian
(pencabutan izin praktik) dapat dilakukan.
Berdasarkan Pasal 361 Kitab-Undang-Undang Hukum Pidana
(KUHP). Tindakan malpraktik juga dapat berimplikasi pada gugatan perdata oleh
seseorang (pasien) terhadap dokter yang dengan sengaja (dolus) telah menimbulkan
kerugian kepada pihak korban, sehingga mewajibkan pihak yang menimbulkan
kerugian (dokter) untuk mengganti kerugian yang dialami kepada korban,
sebagaimana yang diatur dalam Pasal 1365 Kitab-Undang-Undang Hukum Perdata
(KUHPerdata), “Tiap perbuatan melanggar hukum, yang membawa kerugian pada
seorang lain, mewajibkan orang yang karena salahnya menerbitkan kerugian itu,
mengganti kerugian tersebut.” Sedangkan kerugian yang diakibatkan oleh
kelalaian (culpa) diatur oleh Pasal 1366 yang berbunyi: “Setiap orang
bertanggung jawab tidak saja untuk kerugian yang disebabkan perbuatannya,
tetapi juga untuk kerugian yang disebabkan kelalaian atau kurang hati-hatinya.”
2.
Kepastian hukum
Melihat berbagai sanksi pidana dan tuntutan perdata
yang tersebut di atas dapat dipastikan bahwa bukan hanya pasien yang akan
dibayangi ketakutan. Tetapi, juga para dokter akan dibayangi kecemasan diseret
ke pengadilan karena telah melakukan malpraktik dan bahkan juga tidak tertutup
kemungkinan hilangnya profesi pencaharian akibat dicabutnya izin praktik. Dalam
situasi seperti ini azas kepastian hukum sangatlah penting untuk dikedepankan
dalam kasus malpraktik demi terciptanya supremasi hukum. Apalagi, azas
kepastian hukum merupakan hak setiap warga negara untuk diperlakukan sama di
depan hukum (equality before the law) dengan azas praduga tak bersalah
(presumptions of innocence) sehingga jaminan kepastian hukum dapat terlaksana
dengan baik dengan tanpa memihak-mihak siapa pun.
Hubungan kausalitas (sebab-akibat) yang dapat
dikategorikan seorang dokter telah melakukan malpraktik, apabila (1) Bahwa
dalam melaksanakan kewajiban tersebut, dokter telah melanggar standar pelayanan
medik yang lazim dipakai. (2) Pelanggaran terhadap standar pelayanan medik yang
dilakukan merupakan pelanggaran terhadap Kode Etik Kedokteran Indonesia
(Kodeki). (3) Melanggar UU No. 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan.
3.3
Malpraktik ditinjau dari segi KODEKI
Ditinjau dari Sudut Pandang Etika (Kode Etik Kedokteran Indonesia /KODEKI)
Etika punya ari yang berbeda-beda jika dilihat dari sudut pandang pengguna yang
berbeda dari istilah itu. Bagi ahli falsafah, etika adalah ilmu atau kajian
formal tentang moralitas. Moralitas adalah hal-hal yang menyangkut moral, dan
moral adalah sitem tentang motifasi, perilaku dan perbuatan manusia yang
dianggap baik atau buruk. Franz Magnis Suseno menyebut etika sebagai ilmu yang
mencari orientasi bagi usaha manusia untuk menjawab pertanyaan yang amat
fundamental: bagaimana saya harus hidup dan bertindak?. Bagi seorang sosiolog,
etika adalah adat, kebiasaan dan perilaku orang-orang dari lingkungan budaya
tertentu. Bagi praktisi professional termasuk dokter dan tenaga kesehatan
lainnya, etika berarti kewajiban dan tanggungjawab memenuhi harapan profesi dan
masyarakat, serta bertindak dengan cara-cara yang professional, etika adalah
salah satu kaidah yang menjaga terjadinya interaksi antara pemberi dan penerima
jasa profesi secara wajar, jujur, adil, professional dan terhormat.
Dalam KODEKI pasal 2 dijelaskan bahwa; “ seorang dokter harus senantiasa
berupaya melaksanakan profesinya sesuai denga standar profesi tertinggi”.
Jelasnya bahwa seeorang dokter dalam melakukan kegiatan kedokterannya seebagai
seorang proesional harus sesuai dengan ilmu kedokteran mutakhir, hokum dan agama.
KODEKI pasal 7d juga menjelaskan bahwa “setiap dokter hrus senantiasa mengingat
akan kewajiban melindungi hidup insani”. Arinya dalam setiap tindakan dokter
harus betujuan untuk memelihara kesehatan dan kebahagiaan manusia.
Dalam KODEKI
Bab I Pasal 10 dijelaskan bahwa setiap dokter bersikap tulus dan menpergunakan
segala ilmu keterampilanya untuk kepentingan pasein.
Peran
pengawasan terhadap pelanggaran kode etik (KODEKI) sangatlah perlu ditingkatkan
untuk menghindari terjadinya pelanggaran-pelanggaran yang mungkin sering
terjadi yang dilakukan oleh setiap kalangan profesi-profesi lainnya seperti
halnya advokat/pengacara, notaris, akuntan, dll. Pengawasan biasanya dilakukan
oleh lembaga yang berwenang untuk memeriksa dan memutus sanksi terhadap kasus
tersebut seperti Majelis Kode Etik. Dalam hal ini Majelis Kode Etik Kedokteran
(MKEK). Jika ternyata terbukti melanggar kode etik maka dokter yang
bersangkutan akan dikenakan sanksi sebagaimana yang diatur dalam Kode Etik
Kedokteran Indonesia. Karena itu seperti kasus yang ditampilkan maka juga harus
dikenakan sanksi sebagaimana yang diatur dalam kode etik.
Namun, jika kesalahan tersebut ternyata tidak sekedar pelanggaran kode etik
tetapi juga dapat dikategorikan malpraktik maka MKEK tidak diberikan kewenangan
oleh undang-undang untuk memeriksa dan memutus kasus tersebut.
Lembaga yang berwenang memeriksa dan memutus kasus pelanggaran hukum
hanyalah lembaga yudikatif. Dalam hal ini lembaga peradilan. Jika ternyata
terbukti melanggar hukum maka dokter yang bersangkutan dapat dimintakan
pertanggungjawabannya. Baik secara pidana maupun perdata. Sudah saatnya pihak
berwenang mengambil sikap proaktif dalam menyikapi fenomena maraknya gugatan
malpraktik. Dengan demikian kepastian hukum dan keadilan dapat tercipta bagi masyarakat
umum dan komunitas profesi. Dengan adanya kepastian hukum dan keadilan pada
penyelesaian kasus malpraktik ini maka diharapkan agar para dokter tidak lagi
menghindar dari tanggung jawab hukum profesi.
BAB IV
PENUTUP
4.1 Kesimpulan
Atas dasar
beberapa uraian yang telah disebutkan di muka kiranya dapat diambil suatu
kesimpulan sehubungan dengan masalah malpraktek oprasi bedah, adalah sebagai
berikut:
1. Kasus
malapraktek merupakan suatu kasus yang menarik, yang sering dialami oleh masyarakat,
dan yang sekaligus merupakan manifestasi dari kemajuan teknologi kesehatan
dengan berbagai peralatannya yang canggih. Sementara itu dengan semakin
banyaknya kasus malpraktek yang disidangkan di Pengadilan dan bermunculannya
berita-berita tentang malpraktek tenaga medis di media masa karena kegagalannya
dalam berpraktek sehingga mengakibatkan cidera-nya atau meninggalkan pasien,
menunjukkan bahwa tingkat kesadaran hukum masyarakat mulai meningkat, sehingga
perpaduan antara kedua hal tersebut di atas akan menimbulkan suatu perbenturan
atau sengketa.
2. Sedangkan
altrnatif untuk menyelesaikan sengketa itu sendiri, untuk sementara waktu ini
belum memadai, sehingga kasus-kasus malpraktek dijumpai kandas di pemeriksaan
sidang pengadilan. Oleh sebab sangst diperlukan adanya suatu
pemikiran-pemikiran yang jernih dari para arsitek hukum untuk mene-mukan
alternatif apa yang dapat dipakai dalam menghadapi kasus-kasus malpraktek
tersebut, sebab kasus ini sangat banyak berkaitan dengan kepentingan
masyarakat, khususnya bagi yang merasa dirugikannya.
4.2 Saran
1. Kiranya pihak korban
, lansung mencari dokter yang bersangkutan, dan selanjutnya melaporkanya ke
pihak yang berwajib.
2. Diharapkan tenaga
medis akan lebih waspada dan hati-hati dalam melaksanakan tugasnya,
masyarakat menjadi aman dan puas atas pelayanannya dan penegak hukum dapat
lancar dalam bertugas, akhirnya penegakan hukum dapat berjalan sebagaimana kita
harapkan.
DAFTAR PUSTAKA
Etika
Kedokteran dan Hukum Kesehatan/edisi 4/ penerbit buku kedokteran/2007
Ameln, F., 1991,
Kapita Selekta Hukum Kedokteran, Grafikatama Jaya, Jakarta.
Mariyanti, Ninik,
1988, Malpraktek Kedokteran, Bina Aksara, Jakarta.
Undang undang nomor 29
tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran;
http://nonameface.wordpress.com/2010/02/06/poin-poin-penting-undang-undang-kesehatan-no-36-th-2009/
http://www.kksp.or.id/?pilih=lihatdl&id=30
http://bataviase.co.id/node/590966
http://ikpreg1b.blogspot.com/2011/01/kasus-malpraktek-dalam
kesehatan.html
http://lahasmile.com/62468/kasus-maureen-harus-diproses-hukum.html
http://arsipberita.com/arsip/kasus-maureen-global-medika.html
http://www.indonesiaheadlines.com/index.php?id=1440285
Bet on Sports in NJ - Jtmhub.com
ReplyDeleteThe best 평택 출장안마 bet on sports has never been 충주 출장마사지 easier. Bet on 시흥 출장마사지 Sports and you 의정부 출장마사지 are 수원 출장샵 sure to win! Betting is the most popular sport in NJ,